Makalah Zuhud dan Altruisme

BAB I

Pendahuluan

 Segala puji bagi Alloh SWT yang telah memberikan kemampuan kepada kami untuk dapat menyelesaikan pengerjaan tugas makalah Nahj Balaghah ini yang berjudul “Zuhud dan Altruisme”.

Ketika zuhud dijadikan suatu pembahasan dalam suatu forum diskusi maka tiadalah hal itu akan menghantarkan seseorang menuju gerbang dalam Taqorrub Ilalloh ‘mendekatkan diri kepada Alloh’ untuk memperoleh ridho-Nya dalam menjalani hidup, dan penjewantahan yang paling baik dari hasil diskusi tersebut adalah dengan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Maka diharapkan pula hal tersebut dapat dilakukan oleh semua yang saat ini hadir dalam diskusi ini. Bila kita hanya menumpuk akal kita dengan teori-teori saja tanpa dapat mengamalkannya maka termasuk kepada orang-orang merugilah kita. Maka amalkanlah apa yang kita peroleh dari hasil diskusi ini.

BAB II

Pembahasan

Zuhud

Zuhud bermakna tidak memiliki keinginan. Dalam istilah adalah meninggalkan dunia dan tidak memiliki keinginan terhadapnya.

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

23. (kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira[1459] terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,

[1459] Yang dimaksud dengan terlalu gembira: ialah gembira yang melampaui batas yang menyebabkan kesombongan, ketakaburan dan lupa kepada Allah.

Imam Ali as, dalam Nahjul Balaghah mengatakan, “Kesempurnaan zuhud ada diantara dua kalimat yang diisyaratkan dalam ayat di atas.” Dari sini, kita menuju keterangan ayat (Supaya kamu jangan berduka cita…) adalah, ayat yang ke-22 surat Al-Hadid. (tertulis Lauhul Mahfuzh) dengan memperhatikan dua ayat ini maka harus kita pahami bahwa kita harus memiliki sifat zuhud, yakni terjadinya musibah, jangan ada penyesalan dengan kita kehilangan dunia dan juga jangan merasa senang dengan datangnya dunia. Dikarenakan Imam Ali as berkata, “Barang siapa yang tiada menyesal dari sesuatu yang telah berlalu dan tiada merasa senang terhadap sesuatu yang akan diperolehnya, maka dia telah memperoleh sifat zuhud dari dua sisi”

Zuhud dalam Makan dan Berpakaian

Imam Ali as telah menulis surat kepada Usman bin Hunaif, seorang hakim Basrah,”Setiap Imam memiliki suatu perintah bahwa dia harus ditaati. Imammu cukup dengan makan dua potong roti (roti kering) dan dua potong pakaian. Akan tetapi, engkau tidak mampu menjalankannya. Namun, berilah pertolonganmu kepada ketaqwaan, usaha dan kemuliaan dan istiqamah dalam agama.

Zuhud dalam Kedudukan  

Ali as, sangatlah sederhana dalam kehidupannya dalam riwayat beliau berkata kepada Ibnu Abbas, “Berapa nilai sepatuku ini?’ Ibnu Abbas berkata, “Tidak ada nilainya.’ Beliau as berkata, “Nilai dari sepatuku disisiku sangatlah besar dibanding dengan khalifah bagimu, kecuali saya akan menghidupkan suatu kebenaran dan menghalau suatu kebathilan.”

Dalam riwayat disebutkan bahwa Ammar mempunyai utang dan bersedih karenanya, kemudian dia menemui Ali as. Ali as berkata, “Katakanlah kepada batu ini untuk berubah menjadi emas. Berapa pun yang kau butuhkan ambillah sesuai dengan kebutuhan itu.” Ammar melakukan perintah ini dan mengambil emas sesuai dengan yang dia butuhkan.

Seseorang meminta bantuan kepada Ali as. Beliau as berkata kepada pemberi tersebut, “Berikan uang seribu kepadanya. Dia bertanya, “Apakah saya akan berikan 1000 dinar atau 1000 dirham?’ Beliau berkata, “Engkau mengetahui bahwa dunia bagi saya adalah sesuatu yang tidak berharga. Apa pun untuk kebaikannya maka berikanlah. Engkau juga mengetahui bahwa uang dan tanah di sisiku adalah satu kesatuan. Beliau as dalam kesempatan lain berkata, “Dunia kalian ini di sisiku adalah tidak lebih dari bersinnya seekor kambing.” [1]

Altruisme

Salah satu unsur zuhud adalah altruisme. Itsar (altruisme) dan atsarah (egoisme) diturunkan dari akar yang sama. Atsarah mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan orang lain. Dengan kata lain, istilah ini mengimplikasikan monopolisasi segala sesuatu untuk diri sendiri dan meninggalkan orang lain. Sedangkan itsar berarti mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi dan menanggung penderitaan demi kebahagiaan orang lain.[2]

Sang zahid, lantaran hidupnya yang sederhana, wajar dan bahagia,  keras (tegas) untuk dirinya sendiri agar yang lainnya bisa hidup dengan mudah. Ia berkorban demi orang-orang yang membutuhkan karena dengan perasaannya yang sensitif yang merasakan penderitaan sesama, ia bisa menikmati anugerah dunia hanya ketika tidak ada satu manusia pun yang ditekan oleh kebutuhan ia mendapatkan kebahagiaan yang lebih tinggi dengan memberi makanan dan pakaian kepada orang lain dan bekerja demi kemudahan mereka ketimbang jika ia melakukan semua itu oleh dirinya sendiri. Ia memikul kesulitan, rasa lapar dan penderitaan, agar orang lain bisa makan dan bisa hidup dengan layak tanpa kesukaran.

Itsar melambangkan manifestasi yang paling menakjubkan dan sublim dari keluhuran manusia dan hanya manusia-manusia besar yang sanggup mendaki ke puncaknya.

Al-Qur’an suci menyebut episode pengorbanan-diri Ali as dan keluarganya yang terhormat dalam surat Al-Insan. Ali, Fatimah, dan putra-putra mereka. Suatu saat memberikan apa pun yang mereka punya—yang tidak lebih dari beberapa kerat roti—kepada orang miskin karena Alloh, dan meskipun mereka sendiri menderita. Itulah mengapa kisah ini beredar dikalangan malaikat dan dalam sebuah ayat Al-Qur’an diturunkan untuk memuji perbuatan terpuji mereka.

Suatu saat ketika Nabi suci saw menunjungi Hadrat Al-Zahra as, Ia melihat putrinya mengenakan seuntai kalung perak dan memasang tirai baru dipintu, tanda ketidaksenangan menyemburat dari raut muka Nabi saw. Al-Zahra segera merasakan reaksi ayahnya. Ketika Nabi saw pulang, tanpa banyak komentar, Al-Zahra as menanggalkan kalung dan melepas gorden dari pintu, membungkusnya untuk dibawa kepada Nabi saw sehingga beliau bisa menyedekahkannya kepada orang yang memerlukan. Ketika utusan Al-Zahra as menyerahkan kalung dan tirai itu kepada Nabi Saw, Beliau menatapnya dengan rasa takjub. Ia gembira bahwa putrinya telah mengambil jejak itu dan mengorbankan kemewahannya yang paling sederhana demi kepentingan orang lain. Al-Jar tsumma al-dar, “tetangga dulu kita baru” adalah ucapan terkenal dalam keluarga Ali as dan Fatimah. Dalam khutbah 193 yang memaparkan sifat-sifat orang taqwa. Ali berkata;

(Ahli taqwa) menundukan dirinya sendiri kepada kesulitan agar orang-orang bisa hidup dengan nyaman.

9. dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.[3]

Jelaslah, unsur altruistik  dari zuhud mendapatkan peranannya hanya di bawah kondisi tertentu. Dalam sebuah masyarakat yang kaya, altruisme acap kurang diperoleh. Namun dalam kondisi dimana kemiskinan dan kesengsaraan berkembang rata—sebagaimana di masyarakat Madinah ketika masa Nabi saw—kebutuhannya lebih besar. Ini merupakan salah satu rahasia dari perbedaan yang tampak dari gaya hidup Nabi saw, Ali as serta Imam-imam lainnya.

Dalam banyak kasus, zuhud dengan motif-motif altruistik yang mendasarinya tidaklah sama dan sepadan dengan monoteisme yang keluar dari masyarakat. Sebaliknya, ia merupakan suatu produk dari naluri yang bersosial manusia dan penjelmaan dari perasaan-perasaannya yang paling mulia, yang memperkuat ikatan sosial.

BAB III

Penutup

 Antara zuhud dan altruisme adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena altruisme adalah salah satu unsur dari kesempurnaan seorang zahid, maka mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi. Karena hal seperti itu adalah sesuatu yang tak mudah maka hanya orang-orang besarlah yang mampu melakukannya dan mencapai puncak kezuhudan tersebut, salah satu contohnya Imam Ali as dan keluarganya, mereka adalah orang-orang yang telah terbukti mampu mencapai puncak kezuhudan.

Berbagai amalan yang terpuji yang mengutamakan orang lain yang membutuhkan sering kali mereka lakukan sehingga hal itu menjadikan mereka dikagumi oleh kaum Muslimin serta memperoleh Maqom yang tinggi disisi Alloh.

Referensi

Muthahhari,Murtadha, 2002, Tema-tema Pokok Nahj al-Balaghah, Jakarta;ICJ

Abbas Rais Kermani, 2009, Kecuali Ali, Jakarta: ICJ

Sayid Syarif Radhi, 2009, Mutiara Sastra Ali, Jakarta:ICJ


[1] Abbas Rais Kermani, 2009, hal. 95-97

[2] Murtadha Mutahhari, 2002, hal. 158-160

[3] Qs. Al-Hasyr:9

About hwraocha

think the best !! do the best !! be the best !!
This entry was posted in Imam Ali. Bookmark the permalink.

Leave a comment